Kampung Adat Cirendeu
Kreasi Singkong Kampung, Berpacu Antara Digital dan Virus Korona
"Tiap membantu, diupah harian. Kalau tahun lalu Rp 30 ribu. Sekarang tengah korona Rp. 40 ribu".
AWAN-awan perlahan bergerak, tatkala langit arah Kampung Adat Cireundeu, cerah membiru pada pagi hari.
Akses jalan menuju kampung itu tergolong mudah ditempuh. Semisal, dari Bandung berjarak sekitar 14 kilometer atau hanya 23 menit dari pusat Kota Cimahi.
Penanda kampung itu berdiri di tengah dua persimpangan jalan menyambut pengunjung
Dominan bangunan tembok kediaman penduduk perkampungan adat dibangun dengan mempertahankan kontur tanah. Itulah sebabnya, bentuk kampung itu berundak-undak. Dihuni sekitar 400 kepala keluarga.
Segelintir orang tampak beraktivitas. Ada lalu lalang melintas, merenovasi saluran air, hingga duduk sekitar warung-warung sederhana.

Menjelang siang, disebuah beranda rumah, para perempuan tengah bersiap untuk menuju sebuah bale berlantai dua. Guna mengolah penganan berbahan utama tepung singkong.
Seusai berkumpul, sembilan orang emak-emak lantas menyiapkan bahan. Antara lain, telur, gula, mentega, hingga tepung singkong.
Deru tiga unit blender bersahutan. Perlahan, campuran bahan pada wadah pun diolah. Nuansa begitu santai, saat mereka proses membuat eggroll atau kue semprong seraya berbincang, berkelakar, hingga tertawa.
Cukup menyita perhatian seorang perempuan hamil delapan bulan dengan rambut terkuncir turut membantu. Ia paling anyar bergabung dengan emak-emak lainnya empat tahun lalu. Meski kelompok swadaya telah bergerak sejak 2010.
Sopiah (39), sesekali mondar-mandir berkecak pinggang. Lirikannya ke arah adonan kue. Jari jemarinya cekatan menuangkan bahan yang telah diblender. Tak banyak lontaran kata menyembur dari mulutnya. Namun, tetap aktif.